Rabu, 02 Juni 2010

CIUNG WANARA

Penduduk Nagara Galih pakuan kebanyakan masih orang halus. Penduduk setengah manusia baru 40 pasang dan manusia baru 20 pasang.
Rajanya bernama Sang Permana Di Kusumah. Dari kedua permaisurinya yaitu Pohaci Naga Ningrum dan Dewi Pangrenyep belum mempunyai putra
Pada suatu waktu Mantri Anom Aria Kebonan, Ki Gedang Agung akan menghadap raja, tetapi raja sedang beradu. Timbullah niatnya untuk menjadi raja, setelah melihat nikmat dan enaknya menjadi raja. Ratu weruh sadurung winara (tahu sebelum kejadian), oleh karena itu segera memanggil Mantri Anom. Ratu bertanya kepada Mantri Anom tentang keinginannya itu. Mula-mula tidak mengakuinya, tetapi setelah didesak baru berterus terang.
Tak lama kemudian, Sang Permana menyerahkan negara beserta isinya. Kedua permaisurinya dititipkannya pula, hanya dengan perjanjian keduanya tidak boleh diganggunya. Sesudah serah terima kekuasaan, Mantri Anom berganti nama menjadi raden Galuh Barma Wijaya Kusumah sebagai ratu panyelang. Di hadapan raja baru, sang Permana menghilang. Ia pergi ke Gunung Padang dan menjadi pendeta di sana, dengan nama Ajar Suka Resa.
Sepeninggal Sang Perman, ratu baru menyuruh mengadakan pesta besar-besaran. Sebelumnya ia berpesan kepada Lengser agar tidak ada yang tahu bahwa ia raja baru. Kepada rakyat hendaknya disampaikan, bahwa raja telah kembali muda.
Selama di Gunung Padang, hati sang pendeta tiada tenang. Pertama karena raja Barma Wijaya mabuk kekuasaan; ia berbuat sewenang-wenang. Lain daripada itu Sang Permana belum mempunyai keturunan dari kedua permaisurinya. Ia segera bertafakur minta kepada Hyang Widi agar dari kedua permaisurinya dikaruniai anak. Tak lama kemudian terlihatlah cahaya yang kilau kemilau; sebagian turun di hulu negeri dan masuk ke dalam diri Naga Ningrum, sebagian lagi jatuh di keraton dan masuk ke dalam diri dewi Pangrenyep. Sesudah itu Naga Ningrum bermimpi melihat cahaya yang kilau kemilau. Olehnya cahaya itu diambilnya, lalu dikandungnya dengan cinde wulung. Begitu bangun ia merasa susah sekali. Atas anjuran pendeta itu, Naga Ningrum memberitahukan mimpinya kepada raja, bahwa baik Dewi pangrenyep maupun Naga ningrum akan mempunyai putra laki-laki. Ratu tidak percaya akan keterangan Naga Ningrum. Ia ingin bertanya langsung dengan pendeta itu. Maka diutusnya Lengser untuk memanggil pendeta tersebut.
Setelah Lengser pergi, kepada Naga Ningrum raja menyuruh mengandung bokor kancana, dan kepada Dewi Pangrenyep menyruh mengandung kuali kancana, seolah-olah mereka sedang mengandung tujuh bulan.
Pendeta tahu akan kedatangan Lengser. Pendeta bersedia dipanggil raja, tetapi akan datang kemudian. Hanya dititipkannya kepada Lengser: bunga melati sebungkus, kunir sesolor dan bunga putih sepotong. Menerima pemberian itu raja sangat marah.
Pendeta, merubah dirinya menjadi kakek-kakek, berangkatlah ia dengan maksud menghadap raja. Di hadapan raja ia berkata, bahwa dari kedua permaisuri itu akan dilahirkan putra laki-laki. Mendengar itu raja semakin marah. Perut pendeta ditusuknya dengan Curiga/keris, tetapi tidak mempan. Bahkan keris itu menjadi pendek (mengkerut). Raja bertambah marah, dianggapnya pendeta melawan raja. Pendeta lalu ditantangnya. Dijelaskan oleh pendeta bahwa ia tidak bermaksud menantang raja. Apabila memang raja menghendaki ia mati, ia rela melaksanakannya. Pendeta lalu tunduk, mengeluarkan sukmanya di depan raja. Kemudian jasadnya dilemparkan, berubah menjadi Naga Wiru, lalu bertapa.
Karena kandungan kedua permaisuri itu semakin besar, maka kuali dan bokor kancana jatuh. Keduanya dilemparkan, jatuh di tanak Kawali dan Padang.
Dengan ditolong oleh dukun beranak Nini Marga Sari, Dewi Pangrenyep melahirkan seorang putra laki-laki. Oleh ratu anak itu diberi nama Aria banga. Selanjutnya diadakan pesta, memetakan anak yang baru lahir.
Pada suatu hari raja dicarikan kutu di rambutnya oleh Naga Ningrum. Karena nikmatnya raja tertidur di pangkuan naga Ningrum. Sukma pendeta masuk ke dalam kandungan Naga Ningrum. Anak itu berkata, bahwa raja terlalu kejam. Pendeta Gunung Padang tidak berdosa, oleh karena itu pembalasan kepada raja akan datang pada suatu waktu. Begitu bangun raja menuduh Naga Ningrum atau Lengser mengatakan kalimat itu. Kedua orang yang dituduh itu memungkirinya. Ketika ditanyakan kepada para bupati, para mantri dan ahli nujum, ada seorang mantri yaitu Banyak Lumanglang yang mencoba menerangkannya. Dikatakannya bahwa kejadian itu baik dan buruk. Yang lain, yaitu Yaksa Mayuta memberikan keterangan bahwa yang mengucapkan itu adalah bayi dalam kandungan Naga Ningrum, dan ucapan itu akan membawa akibat buruk pada raja. Mendengar keterangan itu, raja menyatakan, bahwa ia tidak lagi mempunyai hubungan apa pun dengan Naga Ningrum, dan jika anak itu lahir, tidak akan diakuinya sebagai anak. Kepada Dewi pangrenyep raja berpesan supaya pada waktu Naga ningrummelahirkan mata dan telinganya harus ditutup dengan malam panas. Anaknya supaya ditempatkan dalam kandaga, lalu dihanyutkan ke sungai Citanduy.
Untuk membantu kelahiran Naga Ningrum, ia menyuruh dua orang emban yaitu Sangklong Larang dan Timbak Larang mencari dukun beranak. Tetapi dukun beranak tidak diperolehnya. Hal itu diberitahukan kepada dewi pangrenyep. Dewi Pangrenyep segera datang di tempat Naga Ningrum. Ditolongnya Naga Ningrum melahirkan, lalu dilakukannya apa-apa yang diruhkan raja kepadanya.
Setelah bayi lahir, bersama sebutir telur aya, ditempatkan dalam kandaga. Tembuninya ditempatkan dalam tapisan setelah dibentuk seperti anjing. Sesudah itu Dewi Pangrenyep membuang bayi tersebut ke sungai Citanduy. Dengan melewati sebuah Jamban larangan dan Ciawi Tali, sampailah kandaga itu disapu angin, dan tersangkut disana.
Kandaga terlihat oleh raden Himun Hidayatullah, putra Nabi Sulaeman yang sedang bertapa di bantengmati. Kemudian sungai Citanduy ditepuknya supaya banjir, dan merubah dirinya menjadi buaya putih. Kandaga lalu dijunjungnya sampai di sebelah hilir Sipatahunan.
Setelah membuang bayi, Dewi Pangrenyep mengajak Naga Ningrum membuka tapisan yang ditutupi dengan cinda kembang. Bukan main terperanjatnya Naga Ningrum, karena yang dilihatnya bukan bayi biasa, melainkan seekor anak anjing.
Sesudah raja mengetahui hal itu, disuruhnya lengser untuk membunuh Naga Ningrum, namun Lengser tak sampai hati membunuhnya, malah Naga Ningrum disuruhnya bertapa.
Setelah Lengser memberikan laporan tentang tugas “membunuh” Naga Ningrum, ia diperintahkan raja untuk mengumumkan kepada rakyat tentang akan diadakannya pesta.
Di sebelah hilir kandaga tersangkut, ada sebuah lubuk yang bernama Leuwi Sipatahunan. Di sinilah Aki dan Nini Balangantrang mmasang lukah/badodon. Karena melihat sungai itu banjir, aki dan nini Balangantrang tidak berani mengangkat lukahnya. Mereka kembali lagi ker rumahnya, kemudian mereka tidur. Nini Balangantrang bermimpi melihat matahari sambil memangku bulan. Sedangkan Aki balangantrang bermimpi melihat cahaya di dasar air sebesar buah balingo. Mereka mencoba mereka-reka makna mimpi. Karena yakin akan mendapat rizki lebih besar lagi dari lukahnya.
Mereka kembali ke sungai untuk melihat lukahnya. Tampak oleh mereka dalam lukahnya ada kandaga. Dikeluarkannya lukah itu lalu kandaga dibukanya. Pada awlanya kaget tapi kemudian mereka gembira karena setelah membuka kandaga ternyata isinya adalah seorang bayi dan sebuah telur ayam. Bayi segera dimandikan dengan air yang keluar dari celah-celah batu yang kena hentakan kaki bayi tersebut.
Pada suatu hari anak itu menyirep (membuat tidur orang lain) Aki dan Nini Balangantrang. Di kala mereka tidur, anak itu terbang ke angksa. Dari sana terlihatlah negara Galih Pakuan, dan Aria banga sedang diasuh oleh para tumenggung, dijaga oleh para bupati. Timbul rasa irinya. Ia bersama Aki dan Nini Balangantrang hidup dalam kesengsaraan. Maka diciptakanlanya sebuah kampung yang diberi nama babakan geger sunten. Setelah itu ia minta ayam jantan. Atas suruhan anak itu, Aki balangantrang mengambil telur yang ada dalam kandaga. Selanjutnya anak itu pergi ke Gunung padang untuk meminta tolong Naga Wiru menetaskan telur ayam tersebut. Kemudian anak itu minta pula bahan sumpit dan koja. Kehendaknya dilaksanakan pula oleh Aki Balangantrang
Pada suatu hari anak itu mengajak pergi berburu kpada kedua orang tua angkatnya. Di hutan di lihatnya tiga ekor ciung dan wanara (kera). Kedua jenis binatang ini tidak boleh disumpitnya. Sejak itu, anak tersebut bernama CIUNG WANARA. Ciung Wanara bertanya tentang siapa orang tua yang sebenarnya. Dijelaskan oleh Aki Balangantrang, bahwa ayah yang sebenarnya adalah Ratu Galih Pakuan, dan ibunya adalah Naganingrum
Terdengarlah berita oleh Ciung Wanara, bahwa di nagara Galih Pakuan akan diadakan sabungan ayam. Ia segera minta ijin kepada orang tua angkatnya untuk mengikuti persabungan itu.
Setibanya di pintu gerbang negara, terlihatl oleh Ciung Wanara tiga orang penjaga yaitu Aki Geleng Pangancingan, Aki Kuta Kahyangan dan Yaksa Mayuta. Ketiga penjaga itu tak bisa melihat Ciung Wanara, karena mantra-mantra yang diucapkan Ciung Wanara.
Ciung Wanara meneruskan perjalanannya . ia bertemu dengan nenek-nenek yang memelihara ayam raja. Ayam itu disabungnya, sehingga ayam raja kalah dan mati.
Sesampainya di alun-alun, ia mengubah dirinya menjadi anak hitam buncit perut. Ayamnya jadi ayam kelabu sentul. Ia bertemu dengan Guntur Sagara dan Bontot Nagara, anak Gajah Manggala, pertemuan dengan anak itu diberitahukan kepada ayahnya, Gajah Manggala. Lengser segera disuruh menangkap anak itu. Lengser tak bisa menemukannya, karena anak itu telah mengubah dirinya menjadi Bagus Lengka, seorang satria yang gagah dan tampan. Lengser tahu bahwa anak yang dicarinya itu tiada lain daripada putra Naga Ningrum yang dibuang ke Sungai Citanduy.
Di alun alun Ciung Wanara bertemu dengan Patih Purawesi dan Patih Puragading yang membawa ayam. Ayam Ciung Wanara disabungnya dengan ayam kedua patih itu. Ayam patih itu kalah dan mati oleh ayam Ciung Wanara. Kedua patih itu marah, diterkamnya Ciung Wanara, tapi Ciung Wanara menghilang.
Setelah mencari ke sana ke mari, di alun-alun Lengser bertemu dengan Ciung Wanara. Oleh Lengser ia dihadapkan kepada raja. Dikatakannya bahwa ia ingin ikut menyabung ayam. Raja menyetujuinya, dengan mempertaruhkan negara sebelahnya. Ciung Wanara mempertaruhkan nyawanya.
Pada waktunya, dimulailah pertarungan ayam Ciung Wanara dengan ayam raja. Ayam Ciung Wanara terdesak. Segera ia pergi ke tepi Cibarani, diusap ayamnya dengan air. Setelah itu ayamnya disabungkan kembali. Ayam raja kalah. Segera para bupati dan para mantri dipanggil raja, lalu raja mewariskan negara sebelah barat beserta isinya kepada Ciung Wanara. Negara bagian timur dan isinya kepada Aria Banga.
 Lama-lama Ciung Wanara sadar, ia merasa ditipu oleh raja. Apa yang diberikan raja kepadanya bukanlah warisan, melainkan taruhan menyabung ayam. Ia ingin membalas kekejaman raja dan Dewi Pangrenyep, dengan jalan memenjarakannya dalam penjara besi. Sebelumnya ia minta ijin kepada ibunya, juga kepada ayahnya. Ibu dan ayahnya merestuinya. Kala itu datanglah Batara Trusnabawa, ayah Naga Ningrum memberikan bahan penjara.
Kepada pandai besi yang bernama Ki Gendu Mayak dikemukakan maksud akan membuat penjara besi itu. Pandai besi itu bersedia membuatkan penjara besi dengan syarat memberitahu terlebih dahulu kepada Ratu Sepuh, yaitu Raden Galuh Barma Wijaya. Ketika raja bertanya tentang maksud membuat penjara, dikatakannya bahwa penjara diperuntukan orang yang berniat jahat kepada raja dan permaisurinya.
Penjara yang amat baik buatannya telah selesai, Raja dan Dewi Pangrenyep ingin melihatnya. Ketika akan melihat bagian dalamnya, Ciung Wanara membuat damar. Begitu mereka masuk, dikuncilah penjara itu dari luar oleh Ciung Wanara. Mereka terkurung dalam penjara. Ketika didengar oleh Aria Banga akan hal itu, disuruhnya para bupati, para jaksa dan para aria mengeluarkannya. Tetapi tidak berhasil, karena penjara tak bisa diangkat mereka.
Ciung Wanara bertemu dengan Aria Banga, terjadilah peperangan. Setelah delapan belas tahun berperang, sampailah di sebuah sungai, Aria Banga dilemparkan ke sebelah timur. Akan kembali menyerang tidak dapat, karena terhalang oleh sungai itu. Dikatakan oleh Aria Banga, bahwa peperangan hanya sampai disitu. Sungai itu dinamainya sungai Cipamali (tabu) berselisih dengan saudara. Mereka bersalaman. Selanjutnya Aria Banga pergi ke timur, sampailah di Majapahit. Sedangkan Ciung Wanara menuju ke barat. Sebelum berpisah ditentukanlah batas kekuasannya. Dari Cipamali ke timur bagian Aria Banga dengan nama tanah Jawa, Kejawan Kaprabon. Dari Cipamali ke barat, dengan nama Tanah Sunda, Pasundan sampai di Palembang bagian Ciung Wanara
Penjara dilemparkan oleh Ciung Wanara, jatuh di Kandang Wesi, Ciung Wanara pergi ke Pajajaran, Aria banga menuju Majapahit.

Sumber ceritera
Almanak Sunda. G.M. Pleyte
1922/1923

Tidak ada komentar:

Posting Komentar