Minggu, 30 Mei 2010

DEUGDEUGPATI JAYA PERANG

Raden Bagawat Imeng Sonjaya adalah putra Prabu Siliwangi, raja di Pajajaran. Suatu malam ia bermimpi bertemu dengan putri cantik dari daerah timur. Ia meminta ijin kepada ayahnya untuk mengembara ke daerah timur mencari putri cantik yang terlihat dalam mimpinya.
Ayahandanya mengijinkan, dan berangkatlah Raden Begawat Imeng Sonjaya melalui jalan angkasa menuju daerah timur bersama pengiringnya yang bernama Kai Lengser.
Ia diterima oleh raja negara Rambut Pala yang bernama Raden Demang Jaya Mantri, serta dipertemukan dengan adiknya seorang putri yang cantik bernama Nyi Ameng Layar. Kebetulan putri itu serupa betul dengan putri impiannya, lalu dilamarnya dan diterima dengan senang hati.
Raden Begawat Imeng Sonjaya dinikahkan oleh Raden Demang Jaya Mantri kepada Nyi Ameng Layar.
Setelah menikah Raden Begawat Imeng Sonjaya meminta kepada Demang Jaya Mantri agar menantang perang kepada raja Galiota. Demang Jaya Mantri pergi ke negara Galiota dan berperang dengan rajanya, yang bernama Raden Braja Kilat. Demang Jaya Mantri menang dalam peperangan itu dan raden Braja Kilat menyerahkan negaranya beserta adiknya, seorang putri bernama Nyi Mas Karuntuyan.
Raden Begawat Imeng Sonjaya pindah ke negara Galiota, dan dinobatkan menjadi raja di Galiota, Nyi Mas Karuntuyan dijadikan istrinya.
Di negara Kuta Pamengkang Mega, rajanya bernama Raden Deugdeug Pati Jaya Perang. Suatu hari ia didatangi adiknya, seorang putri bernama Nyi Mas Inten Badaya. Adiknya itu mengatakan bahwa ia bermimpi melihat ikan paus bersisik emas di laut selatan, yang termasuk negara Galiota, dan seekor badak berbulu belang berekor emas di hutan negara Galiota.
Raden Deugdeug Pati Jaya Perang mengajak adiknya untuk pergi ke negara Galiota mengabdikan diri kepada Raden Begawat Imeng Sonjaya, karena mungkin negara itulah mereka akan mendapat kesulitan.
Merekapun berangkatlah ke negara Galiota, lalu mengabdikan diri kepada raden Begawat Imeng Sonjaya dan menyerahkan adiknya Nyi Mas Inten Badaya.
Raden Deugdeug Pati Jaya Perang diangkat jadi hulubalang raja, Raden demang Jaya Mantri menjadi Patih, sedang Raden Braja Kilat menjadi penjaga keraton.
Suatu ketika Raden Deugdeug Pati Jaya Perang meminta ijin kepada raja akan berperang dengan raja di negara Kuta Gedongan, dan raja di negara Gunung Layang.
Setelah diijinkan Raden Deugdeug Pati Jaya Perang berangkatlah
Negara Kuta Gedongan dirajai oleh tiga bersaudara, yaitu Lembu Tutur, gajah Menur dan gajah Mancawura, yang masing-masing mempunyai adik perempuan yaitu; Sari Kancana, sari Dewata dan Sari Wayangan.
Ketiga bersaudra itu berperang melawan Raden Deugdeug Pati Jaya Perang, tetapi ketiga-tiganya kalah, dan menyatakan takluk serta bersedia mengabdikan diri.
Sebelum kembali ke negara Galiota mereka pergi dahulu ke negara Gunung Larang. Rajanya bernama Gajah Larang, mempunyai adik seorang putri, bernama Nyi Aci Larang. Dalam peperangan melawan Raden deugdeug Pati Jaya Perang, Gajah Larang kalah, lalu menyatakan takluk dan bersedia mengabdikan diri.
Semua raja taklukan dan putri-putrinya dibawa ke negara Galiota, dipersembahkan kepada Raden Begawat Imeng Sonjaya. Negara Galiota menjadi lebih besar dan ramai, subur makmur lohjinawi.
Nyi Ameng Layar, permaisuri raja yang sedang mengandung suatu malam ingin berhibur diri dengan pembacaan ceritera sambil ditembangkan. Raja menyuruh Raden Deugdeug Pati Jaya Perang membacakannya.
Suara orang menembang terdengar oleh Raden Braja Kilat yang sedang menjaga keraton. Ia melihat ke paseban (balaiirung). Terlihatlah Raden Deugdeug Pati Jaya Perang sedang menembang, ditemani oleh Raden Demang Jayamantri, di depan Nyi Ameng layar yang cantik.
Raden Braja Kilat merasa iri, orang lain bersenang-senang, sedangkan ia sendiri disuruh berjaga-jaga, padahal negara Galiota itu kepunyaannya. Timbullah niat jahatnya untuk mencelakakan Raden Deugdeug Pati Jaya Perang dan raden Demang Jayamantri beserta adiknya Nyi Ameng Layar, agar kelak ia sendirilah yang diangkat menjadi patih, dan adiknya Nyi Mas Karuntuyan menjadi permaisuri raja.
Ditiupnya mantra untuk menidurkan semua orang, sehingga ketiga orang yang berada di paseban itu tertidur semuanya.
Kemaluan Nyi Ameng Layar dijahitnya dengan kawat pusaka, lalu ditidurkan dalam pelukan Raden Deugdeug Pati Jaya Perang. Setelah itu cepat-cepat ia memberitahukan raja, bahwa Raden Deugdeug Pati Jaya Perang telah berhianat. Raja dibawa ke paseban untuk melihat buktinya.
Raden Begawat Sonjaya bukan main marahnya, lalu menitahkan kepada Raden Braja Kilat agar ketiga orang itu dibunuh.
Nyi Ameng layar ditarik rambutnya oleh Raden Braja Kilat, lalu di bawa ke alun-alun, dan perutnya diinjak-injak tanpa mendengarkan jeritannya.
Ketika Nyi Ameng Layar akan dibunuh, dihalang-halangi oleh Kai Lengser yang mengatakan bahwa tanpa membunuh Nyi Ameng Layarpun, Raden Braja Kilat pasti menjadi patih. Nyi Ameng Layar lalu dilemparkan jauh-jauh, dan jatuh di Lubuk Batok.
Raden Braja Kilat kemudian menyeret raden Deugdeug Pati Jaya Perang dan raden Demang Jayamantri, dibawa ke alun-alun untuk dibunuhnya. Akan tetapi sebelum Raden Braja Kilat membunuhnya, kedua orang itu berkata, bahwa Braja Kilat tidak mungkin dapat membunuh mereka. Oleh karena itu, bila kematian yang diinginkan raja, mereka lebih baik bunuh diri, lalu keduanya saling menusuk dengan keris mereka masing-masing, hingga mati. Mayatnya dilemparkan oleh Raden Braja Kilat dan jatuh pula di Lubuk Batok, bersama mayat Nyi Ameng Layar.
Sukma ketiga orang itu melihat tubuh mereka dari angkasa, lalu masuk kembali kedalam tubuhnya masing-masing, kemudian mereka hidup kembali, lalu pergi dari Lubuk batok dan mereka tinggal di kaki Gunung Banjaran.
Beberapa waktu kemudian Nyi Ameng Layar menangis meratap-ratap, karena ia merasa akan melahirkan, tetapi bayinya tidak dapat keluar sebab kemaluannya dijahit. Ratapan Nyi Ameng Layar terdengar oleh seorang nenek yang sedang bertapa di Puncak Gunung banjaran. Ditolongnya Nyi Ameng Layar melahirkan dengan membuka dulu kawat penjahit kemaluan Nyi Ameng Layar, dengan kesaktiannya kawat itu dijahitkan kepada Nyi Mas Karuntuyan di negara Galiota.
Nyi Ameng Layar melahirkan, bayinya laki-laki, mirip sekali ayahnya, Raden Imeng Sonjaya. Bayi itu diberi nama Raden Simpay Katulayah Pangeran Rangga Uyuhan.
Raden Demang Jayamantri berunding dengan Raden Deugdeug pati Jaya Perang, bahwa mereka akan kembali ke negara Galiota membawa Nyi Ameng Layar bersama anaknya. Mereka bermaksud menuntut balas kepada Raden Braja Kilat dan Nyi Mas Karuntuyan. Untuk menggendong bayi, maka nenak pertapa ikut pula.
Ketika mereka tiba di negara Galiota, mereka disambut dengan tembakan senapan. Tetapi karena kesaktian nenek pertapa, peluru-peluru itu berbalik arah menyerang pasukan Galiota.
Raden Deugdeug Pati Jaya Perang mengamuk. Semua ponggawa dan prajurit yang ada di alun-alun dibunuhnya. Lalu masuk ke keraton mencari Raden Braja Kilat. Setelah ditemukan, lalu dibunuhnya dan mulutnya dibelah. Mayat Raden Braja Kilat dilemparkan, jatuh di laut utara dan menjadi buaya putih.
Adik Raden Braja Kilat, Nyi Mas Karuntuyan ditangkap tangannya oleh Raden Deugdeug Pati Jaya Perang, lalu diseret ke alun-alun. Perutnya yang sedang mengandung di injsk-injsk dehinggs bsyinys keluar. Ibu dan anak kedua-duanya mati.
Mayat Nyi Mas Karuntuyan dilemparkan ke laut selatan menjadi himi-himi, sedang bayinya dilemparkan ke laut utara jatuh di Muara Kicipir, mejadi bermacam-macam hama.
Raden Deugdeug Pati Jaya Perang bersama Raden Demang Jayamantri serta Nyi Ameng Layar dan nenek pertapa beserta bayinya, masuk ke dalam keraton mencari raja. Lalu menyerahkan Nyi Ameng dan bayinya. Begawat Imeng Sonjaya mau menerima bayi itu sebagai anaknya, kalau anak itu mirip dengannya. Ternyata ketika diperlihatkan, bayi itu mirip wajahnya, barulah Nyi Ameng Layar diterima kembali menjadi permaisurinya.
Negara Galiota kemudian diserahkan kepada Raden Deugdeug Pati jaya Perang, dan Raden Demang Jaya Mantri memerintah kembali negaranya, ialah negara Rambut Pala, sedang Begawat Imeng Sonjaya hanya memerintah di negara Kuta Gedongan.
Raden Deugdeug Pati Jaya Perang memerintah dengan adilnya, sehingga negara Galiota bertambah besar dan ramai, aman tentram dan subur makmur

Sumber ceritera: ed C.M. Pleyte, 1907

Tidak ada komentar:

Posting Komentar