Putri Mas Purba sari, Purba sari Ayu Wangi, adalah putra Prabu tapa Ageung, raja Pasirbatang dari permaisuri Niti Suari. Putra prabu Tapa Ageung lainnya ada enam: Purba Rarang, yang sulung; Purba Endah, Purba Dewata, Purba Kancana, Purba Manik dan Purba Leuwih.
Purba Sari sangat cantik dan penyabar. Karena kecantikannya, kakak-kakaknya menjadi iri hati, terutama sekali putri Purba Rarang. Putri Purba Sari lalu dilulurnya dengan pupur arang tungku, sehingga mukanya menjadi hitam legam, tetapi sorotmya tetap ada. Sesudah dilulur dan diganti pakaiannya dengan yang compang-camping, lalu diusirnya putri bungsu itu ke hutan Gunung Cupu Mandala uayu, hutan belantara yang tak pernah ditempuh orang, dan segala sesuatu sukar di dapat di sana. Putri Purba Sari diantarkan oleh Paman Lengser ke hutan tersebut, lalu ditinggalkan seorang diri di sebuah gubuk buruk.
Putri Purba Sari mengisi waktunya dengan mengincir kanteh.
Tersebutlah Guru Minda Kahyangan, putra sulung Dewta dan Sunan Ambu, titisan dari Guru Hyang Tunggal. Pada suatu malam dia memimpikan seorang putri cantik yang menjadi kekasihnya, putri itu mirip dengan ibunya, Sunan Ambu, karena itu ia selalu melirik ibunya dengan diam-diam. Oleh ibunya ia ditegut, lalu ditunjukannya bahwa ada jodohnya di Buana Pancatengah, yang serupa dengan dirinya.
Sebelum menemui putri tersebut Guru Minda harus bersalin rupa dahulu, ia memakai pakaian serupa lutung, dan memakai nama Lutung Kasarung.
Lutung Kasarung turun dari kahyangan menuju Buana Panca Tengah. Dia ditemukan oleh Aki Panyumpit, yang mendapat perintah dari Ratu Pasirbatang untuk mendapatkan daging lutung.
Lutung Kasarung dibawa ke negara Pasir Batang, tetapi tidak jadi dibunuhnya, sebab lutung tak dapat ditangkap, lalu dihadiahkan saja kepada para putranya.
Lutung Kasarung selalu mengganggu para puteri. Mula-mula taropong Purba Rarang dipatahkannya, kemudian pakaian para putri yang sedang mandi disembunyikannya, lalu di mengamuk. Akhirnya karena jengkelnya, Lutung Kasarung diantarkan ke Gunung Cupu Mandala Ayu, untuk dijadikan teman Purbasari Ayu Wangi.
Lutung Kasarung tinggal menemani putri Purba Sari di gunung. Karena kasihan kepada putri bungsu yang hidup sengsara, lalu dimohonnya bantuan Sunan Ambu, sehingga hutan belantara itu diciptakan menjadi negara kaya raya. Para bujangga, saudaranya, membuatkan tepian mandi untuk tempat putri Purba Sari bersirm, sehingga sesudah bersiram putri itu menjadi cantik kembali seperti asalnya.
Karena putri Purba Rarang selalu berusaha mencelakakan putri bungsu dengan berbagai cara, Lutung Kasarung berkali-kali menolongnya, sehingga terlepas dari hukum penggal. Mula-mula Purba Raranf menitahkan membendung parakan Baranang Siang, kemudian mencari banteng lilin yang berkaki gading. Kemudian mengajaknya sayembara bertanam padi, memasak, menenun kain, merajut kasang, mengadu kerampingan tubuh, panjang rambut, kecantikan, keharuman lulur dan akhirnya mengadu ketampanan tunangan masing-masing. Saat itulah, tepat waktunya Guru Minda Kahyangan yang berbaju lutung itu bersalin rupa kembali ke asalnya, sebagai putra dewata yang cakap dan tampan. Ketampanannya mengalahkan Indrajaya tunangan Purba Rarang yang tambun.
Dari baju lutungnya tercipta tiga orang manusia, yaitu Ki Bagus Lembu Halang, Gelap Panyawang dan Kidang Pananjung. Dia memakai gelar Guru Minda Patanjala, Ratu Patanjala Seda, Ratu Sembawa.
Putri Purba Larang dan kelima saudaranya meminta maaf kepada putri bungsu. Mereka semuanya tidak dihukum bunuh, tetapi dijadikan abdi, ada yang jadi tukang sapu, tukang tenun, dan penggembala. Hanya putri Purba Leuwih yang tidak dihukum karena kebaikannya, bahkan dia dijadikan istri Ki bagus Lembu Halang yang dijadikan patih negara.
Indra Jaya murka karena kalah dan tunangannya menjadi abdi, lalu menantang perang. Dia lawan oleh Ki Bagus Lembu Halang, sehingga kalah dan terbunuh, tetapi oleh Guru Minda harus dihidupkan lagi, supaya takluk. Indrajaya lalu dijadikan tukang rumput.
Guru Minda dan Purba Sari hidup berbahagia, dan negara Pasirbatang diganti namanya menjadi Negara Pakuan Kalangan
Sumber ceritera
Argasasmita, Cirebon
1970
Tidak ada komentar:
Posting Komentar